tanda tangan/tan•da ta•ngan/ n tanda sbg lambang nama yg dituliskan dng tangan oleh orang itu sendiri sbg penanda pribadi (telah menerima dsb): surat-surat harus dibubuhi -- si pengirim; Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.” Pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” Pengertianunsur “menyalahgunakan kewenangan” 1. Pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001, Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari 1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir” Pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya ; Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu : a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ; b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ; c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana ; 2. Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut: a) Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan……Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan (detournement de power). b) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas……Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undang-undang. c) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik……Asas-asas hukum yang dipakai untuk menilai kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi tersebut masih dalam koridor “rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada “Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam kepustakaan Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik” (AAUPB). 3. Hakekat Penyalahgunaan Kewenangan……Indriyanto Seno Adji, dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de pouvoir” dengan “freis ermessen”, memberikan pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu: a. penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; b. penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; c. penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. 4. Pada hakekatnya penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara. Sadjijono, dengan menyitir pendapat Phlipus M. Hadjon mengemukakan bahwa cacat yuridis keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat yuridis tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni : cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan. 5. Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Tindak Pidana Korupsi. Delik penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 3 UUPTPK, yang dirumuskan secara formil dan materiil. Istilah “melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) biasanya dipergunakan dalam ranah hukum perdata, sedangkan “melawan hukum” (wederrechtelijkheid) dipergunakan dalam ranah hukum pidana. Pada hukum pidana, unsur “melawan hukum” (wederrechtelijkheid) dibatasi oleh asas legalitas, sedangkan “melanggar hukum” (onrechtmatigedaad) mempunyai cakupan yang lebih luas, tidak terbatas pada “written law” tetapi juga “unwritten law” atau“the living law”. Pada UUPTPK, pengertian unsur melawan hukum meliputi melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Penyalahgunaan kewenangan merupakan salah satu bentuk onrechtmatigedaad. Penyalahgunaan kewenangan merupakan “species” dari “genus”-nya (onrechtmatigedaad). Unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dan unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi” adalah bagian inti delik (bestanddelen delict) karena tertulis dalam rumusan delik, oleh karenanya menjadi elemen delik. Berbeda halnya dengan unsur “melawan hukum” (wederrechtelijk), tidak secara ekplisit ditentukan sebagai unsur delik dalam Pasal 3 UUPTPK, namun meskipun tidak secara ekplisit ditentukan dalam rumusan delik, unsur “melawan hukum”, tersebut tetap ada secara diam-diam, sebab terhadap suatu delik pasti selalu terdapat unsur “melawan hukum”. 6. Unsur Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan karena Jabatan atau Kedudukan. Delik inti dari Pasal 3 UUPTPK adalah “menyalahgunakan kewenangan”. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan unsur/elemen “kewenangan” atau “jabatan” atau “kedudukan”, maka dalam mempertimbangkannya tidak dapat dilepaskan dari aspek hukum administrasi negara yang memberlakukan prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), yang harus dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban pribadi (liability pribadi) dalam hukum pidana. Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana (khususnya dalam tindak pidana korupsi) tidak memiliki pengertian yang bersifat eksplisitas, oleh karena itu diperlukan pendekatan ekstensif. Berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie ven het Materieele Strafrecht” (Otonomi dari Hukum Pidana Materiil), yang intinya adalah mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan hukum perdata dan hukum tata usaha negara sebagai suatu cabang hukum lainnya. Indriyanto Seno Adji menguraikan pengertian “penyalahgunaan kewenangan” dalam hukum administrasi (mengadopsi uraian Jean Rivero dan Waline) ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu : a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan; b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan tersebut oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain; c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. 7. Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar (legalitas) mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja. Perbedaan antara penyalahgunaan wewenang, bertentangan dengan undang-undang dan tindakan sewenang-wenang adalah sebagai berikut: a. Penyalahgunaan wewenang parameter atau tolok ukur pengujiannya bertumpu pada asas spesialiteieit atau menurut Prof. Tatiek Djatmiati menggunakan istilah legalitas substansi yang lebih dikenal dengan asas doelmatigeheid; b. Bertentangan dengan perundang-undangan, terbagi menjadi tiga, yaitu bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat prosedural/formal; bertentangan dengan perundangan-undangan yang bersifat materiel/substansial; peraturan perundangan-undangan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang; c. Tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang mengesampingkan fakta-fakta yang relevan yang telah diverikasi olehnya dalam melaksanakan wewenangnya serta tidak mencocokan fakta tersebut dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur wewenang yang dimilikinya tersebut. 8. Menurut Hukum Administrasi penyalahgunaan wewenang adalah segala tindakan pemerintah yang meliputi : 1. Bertentangan dengan kepentingan umum 2. Menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh UU atau peraturan lainnya 3. Menyalahgunakan suatu prosedur Lanjut Sjachran Basah menyatakan bahwa Perbuatan administrasi negara yang menyalahgunakan wewenang (detournment de pouvoir) adalah perbuatan yang menggunakan wewenang yang mencapai kepentingan umum yang lain dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan, yang menjadi dasar kewenangannya itu dan merugikan pihak yang terkena atau perbuatan untuk kepentingan diri sendiri atau untuk kepentingan orang lain atau golongan lain. Penyalahgunaan wewenang meliputi : 1. Tindakan melampaui wewenang 2. Tindakan mencampuradukkan wewenang 3. Tindakan bertindak sewenang-wenang, artinya menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan /UU. Tugas dan Wewenang DPRD a. membentuk peraturan daerah kabupaten bersama Kepala Daerah; b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten yang diajukan oleh Kepala Daerah; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; e. memilih wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil Kepala Daerah; (catatan bagian hukum) f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten; h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten; i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. LAMPIRAN F.I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 21 TAHUN 2011 TANGGAL : 23 MEI 2011 CONTOHFORMAT NASKAH PERJANJIAN HIBAH DAERAH (NPHD) Pada hari ini ......................., tanggal ..................... bulan .................. .. tahun ........................... yang bertanda tangan di bahwa ini: I Nama: ................................................................................................................ ........ NIP: ............................................. ........................................................................... Pangkat: ........................................................................................................................ Jabatan: ..................................... ................................................................................... Unit Kerja: ........................................................................................................................ Yang bertindak untuk dan atas nama Gu bernur/Bupati/Walikota di Provinsi/Kabupten/Kota ........................................................ yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. II Nama : .................................................................................................. .................... ..... No. KTP : ........................................................................................................................... Jabatan : Kepala Sekolah Alamat : ................................................. Kecamat an.......................... .......................... Kabupaten/Kota ........................................... Kegiatan : Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Yang bertindak untuk dan atas nama .................................... (sekolah) .......... ..................... Desa/Kelurahan ............................... Kecamatan .................................... .............................. Kabupaten/Kota ............................................. selanjutnya dalam Naskah Perjanjian Hibah D aerah ini disebut PIHAK KEDUA. Kedua belah pihak sepakat untuk melakukan Perjanjian Hibah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut: Pasal 1 JUMLAH DAN TUJUAN HIBAH (1) PIHAK PERTAMA memberikan hibah Dana BOS kepada PIHAK KEDUA , berupa uang sebesar Rp......... ...................................... (................................................................ ......... ....................................................................... rupiah) (2) Dana BOS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan untu k Bantuan Operasional Sekolah sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan sebagaimana diberlakukan juga bagi sekolah negeri dan petunjuk teknis tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah hibah daerah ini. (3) Penggunaan dana sebagaimana aya t (2) bertujuan untuk membebaskan pungutan seluruh siswa miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apa pun dan untuk meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa sekolah . (4) Penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) khusus untu k jenis kegiatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dikelola dengan mekanisme manajemen sekolah. Pasal 2 PENCAIRAN DANA HIBAH DAERAH (1) Pencairan dana hibah BOS untuk sekolah swasata yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provins i/Kabupaten/Kota ............................. Tahun ............... dilakukan secara triwulanan sesuai alokasi yang ditetapkan. (2) Untuk pencairan hibah dana BOS, PIHAK KEDUA menngajukan permohonan kepada PIHAK PERTAMA , dengan dilampiri: a. Naskah Perjanjian H ibah Daerah; b. Foto copy Rekening Sekolah Swasta yang masih aktif; c. Surat Pernyataan Tanggung Jawab; (3) PIHAK KEDUA setelah menerima dana hibah dari PIHAK PERTAMA , Segera melaksanakan kegiatan dengan berpedoman pada petunjuk teknis penggunaan Dana Opersional Se kolah (BOS) dan ketentuan perundang - undangan yang berlaku. Pasal 3 KEWAJIBAN PIHAK KEDUA (1) Melaksanakan dan bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari hibah BOS yang telah disetujui PIHAK PERTAMA dengan berpedoman pada ket entuan perundang - undangan. (2) Melaksanakan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan perundang - undangan yang berlaku. (3) PIHAK KEDUA membuat dan menyampaikan laporan triwulan penggunaan hibah BOS yang disertai dengan dokumen dan bukti pertanggungjawaban yang sah dan lengkap kepada PIHAK PERTAMA , kepada PPKD selaku BUD untuk triwulan pertama dan triwulan kedua paling lambat tanggal 10 Juli dan untuk triwulan ketiga dan triwulan keempat paling lambat akhir Desember tahun berkenaan. . Pasal 4 HAK DAN KEWAJIB AN PIHAK PERTAMA (1) PIHAK PERTAMA berhak menunda pencairan dana BOS apabila PIHAK KEDUA , tidak/belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan. (2) PIHAK PERTAMA berhak melaksanakan evaluasi dan monitoring atas penggunaan dana BOS berdasarkan laporan pertanggungjawaba n penggunaan dana yang disampaikan kepada PIHAK KEDUA . (3) PIHAK PERTAMA berkewajiban segera mencairkan dana hibah BOS apabila seluruh persyaratan dan kelengkapan berkas pengajuan pencairan dana telah dipenuhi oleh PIHAK KEDUA dan menyatakan lengkap dan benar melalui verifikasi oleh Pemerintah Daerah. Pasal 5 PERUBAHAN/PERGESERAN ANGGARAN (1) Apabila terdapat penambahan jumlah siswa sekolah swasta akibat tahun ajaran baru, PIHAK KEDUA melakukan perubahan alokasi dana BOS untuk sekolah yang bersangkutan sesua i dengan mekanisme perubahan APBD, setelah alokasi perubahan tesebut ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Dalam hal terjadi perubahan atau pergeseran anggaran akibat perubahan jumlah siswa riil di sekolah swasta , PIHAK KEDUA dapat melakukan pergeseran dengan tida k merubah jumlah nominal dan tujuan penggunaan hibah , yang selanjutnya dilaporkan kepada Menteri Pendidikan Nasional. Pasal 6 LAIN - LAIN (1) Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) ini, dibuat rangkap 5 (lima), lembar pertama dan kedua masing - masing bermaterai c ukup sehingga mempunyai kekuatan hukum sama. (2) Hal - hal lain yang belum tercantum dalam NPHD ini dapat diatur lebih lanjut dalam Addendum. PIHAK KEDUA, PIHAK PERTAMA, Kepala Sekolah (Nama Pangkat/Gol. NIP. MENTERI DALAM NEGERI, ttd GAMAWAN FAUZI Salinan sesuai dengan aslinya, Plt. KEPALA BIRO HUKUM ZUDAN ARIF FAKRULLOH PEMBINA (IV/a) NIP . 19690824 199903 1 001

Comments

Popular posts from this blog

"ASRUN DAN LILIS RAJIN KEPASAR"

proposal rumah singgah

DATA DIRI HASAN JUMADIN